Kamis, 05 November 2009

Cinta dari Darah dan Ruh


Lelaki itu sudah mengabdi kepada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikannya dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anaknya yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya kepada Umar bin Khaththab,

“Apa pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?”

Lalu Umar pun menjawab, “Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.”

Tidak! Tidak! Tidak!

Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dari dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu. Lalu ia keluar diantar darah: Inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.

Ibu, begitu besar kasih sayangmu. Kau yang merawatku dalam cinta, mengharapkan kehidupan, mencitakan kesuksesan, dan mendamba bahagiaku.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya selama 2 tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah tempat kembalimu.” (Q.S. Luqman/31: 14)

Mari kita rasakan detak-detak cintanya pembawa bahagianya. Gunakan detik-detik momentum untuk hadirkan ridhanya dengan harapan dan do’a agar Allah berkenan melimpahkan Ridha-Nya.

Inspired from the book: The Great Power of Mother.
(disunting dari medicalzone.org by Intan Risna)

1 komentar: